
Selfie Sebagai Kebutuhan HQQ
Foto tidak hanya sebatas gambar yang indah. Dari fotografi makanan sampai fashion, masing-masing memiliki maknanya sendiri , bahkan swafoto.
Kalau kata kamus Oxford, selfie atau swafoto berarti sebuah foto yang diambil sendiri via smartphone atau webcam, kemudian dibagikan hasilnya ke media sosial, seperti Instagram.
Media sosial tersebut jadi favorit para penggunanya untuk meng-upload foto-foto mereka. Salah satu faktornya, Instagram memiliki fitur interaktif terhadap foto atau konten yang telah diunggah, sehingga orang lain yang melihatnya bisa mengapresisasi foto tersebut dengan tombol like serta mengomentarinya di kolom comment.
Foto yang diunggah oleh para pengguna Instagram pun beragam. Dari foto makanan, fashion, teknologi, hewan, sampai sekeda aktivitas sehari-hari hadir di media sosial ini. Menariknya, selfie merupakan konten yang paling sering diunggah pengguna melalui Instagram.
Hu dan Manikonda(2014) telah menemukan bahwa 46,6 % jenis foto yang diunggah di Instagram adalah foto teman dan selfie melalui penelitiannya. Dari komposisi keduanya, selfie lebih unggul 24,2% dari foto teman sebesar 22,4%. Sedangkan jenis foto lain seperti foto hewan, fashion, dan lainnya hanya berkontribusi sekitar 10% dari konten yang beredar di Instagram. Data ini jadi bukti bahwa warganet Instagram ternyata cukup narsis, hehe.
Selfie itu Sarana Aktualisasi Diri
Sebagai manusia, kita selalu ingin mendapatkan hasil yang sempurna dalam melakukan segala tindakan, walaupun itu sekedar selfie. Seseorang akan berusaha untuk mendapatkan hasil foto yang menurutnya memuaskan dan layak dilihat dan menghibur warganet di medsos.
Maka dari itu, mereka berlomba-lomba berswafoto seunik dan semenarik mungkin untuk dipamerkan di dunia digital, walaupun nyawa taruhannya. Selfie-selfie yang diambil di tempat berbahaya macam sungai beraliran deras, pembatas balkon, atau rel kereta api ini jadi contoh betapa besarnya kegigihan manusia untuk menunjukkan eksistensi di dunia maya.
Penelitian Ferziandhani, dkk (2016) bahkan mengungkap mengapa orang-orang rela mati demi selfie. Berdasarkan penelitian tersebut, orang yang melakukan swafoto di tempat berbahaya paham bahwa kegiatan tersebut bisa membahayakan nyawanya. Namun, karena adanya motivasi untuk menciptakan selfie yang menarik bin unik, mereka tetap melakukannya untuk kepuasan, hiburan, sampai pengakuan di dunia maya belaka.
But why???
Jawabannya ada pada penelitian Setiasih dan Florencia (2017), dimana mereka menemukan tiga kepuasan yang tercapai akibat berswafoto.
Pertama, berswafoto menjadi sarana orang-orang untuk menampilkan diri sendiri (eksistensi). Lewat kegiatan tersebut, seseorang berusaha menunjukkan, menjelaskan, dan menampilkan diri mereka lewat swafoto dengan harapan orang lain dapat kagum, terpesona, dan tertarik pada diri mereka.
Kedua, orang-orang akan merasa diperhatikan ketika swafotonya mendapat tanggapan dari orang lain (atensi). Hal ini bisa diukur melalui jumlah likes dan comment yang ada pada konten yang diunggah melalui Instagram. Semakin positif tanggapan orang lain terhadap swafoto tersebut, maka semakin puas lah orang tersebut karena telah mendapat perhatian dan pengakuan orang lain.
Ketiga, swafoto mampu membangun citra baik pelakunya. Dari tanggapan positif yang ada pada kepuasan sebelumnya, seseorang akan merasa diri mereka baik (positif) di mata orang lain. Jumlah likes dan comment positif yang ada pada unggahan swafotonya dapat mendukung psikologis mereka, dan merasa mereka diterima di lingkungan masyarakat. Akibatnya, orang-orang akan berlomba-lomba menciptakan swafoto semenarik mungkin.
Aktualisasi Diri itu Kebutuhan
Tiga kepuasan diatas diamini oleh Abraham Maslow (Gobel, 2016) sebagai aktualisasi diri, satu dari lima kebutuhan dasar manusia. Kata Suranto (2011), aktualisasi diri ini adalah dorongan untuk menjadi apapun yang ia mau, sesuai kemampuannya. Lewat swafoto, aktualisasi diri ini dapat terpenuhi untuk mewakilkan diri sendiri ke dunia maya demi menuai pengakuan.
Ketika berswafoto, komunikasi intrapersonal juga berlangsung dimana seseorang sebenarnya sedang berkomunikasi dengan dirinya sendiri untuk menilai dirinya.
Namun, dampaknya bisa menjadi buruk, apalagi ketika seseorang sudah benar-benar terobsesi dengan swafoto. Menurut American Psychiatric Association (APA) yang dikutip dari penelitian Simatupang (2014), ketika orang sudah terobsesi dengan swafoto, mereka dianggap telah mengidap gangguan mental.
Swafoto dapat membuat mereka puas membangun citra diri yang baik, apalagi bisa diukur dari likes dan comment Instagram. Namun, jika ia tidak puas dengan jumlah likes dan comment-nya, ia akan berusaha lagi untuk memperbaiki feed, sampai membuat swafoto terunik. Jadi, ya wajar saja banyak yang berswafoto di tempat berbahaya.
Penulis: Maysa Maharani
Penyunting: Alber
Suka tulisan ini? Dukung Pesan dan Kanal dengan claps mu!
Sumber:
Hu, Y., Manikonda, L., & Kambhampati, S. (2014). What We Instagram: A First Analysis of Instagram Photo Content and User Types. In Icwsm.
Ferziandhani, F., Kurniawan, B., & Ekawati, E. (2016). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINDAKAN TIDAK AMAN (UNSAFE ACT) PADA PELAKU SELFIE DIATAS GEDUNG BERTINGKAT JAKARTA. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 4(3), 394–404.
Setiasih, S., & Puspitasari, F. I. (2017). KEBUTUHAN REMAJA UNTUK MENGIRIM FOTO ATAU VIDEO DI INSTAGRAM. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 2(2), 461–472.
Simatupang, F. F., & Salam, N. E. (2014). FENOMENA SELFIE (SELF PORTRAIT) DI INSTAGRAM (Studi Fenomenologi Pada Remaja Di Kelurahan Simpang Baru Pekanbaru). Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2(1), 1–15.
Suranto. AW. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Gobel. Frank G. (2006). Madzhab ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Terj. A Supratinya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius