
Self-Mass Communication? Teori Antar Pribadi atau Massa, sih?
Katanya, self, tapi kok, mass? Sebenarnya, teori ini merujuk pada self communication atau mass communication? Atau Mas Manuel ini typo dalam menulis teorinya sendiri? Tentu, tidak.
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang self-mass communication, kita harus sadar terlebih dahulu bahwa masyarakat zaman dulu dan sekarang telah berbeda.
Namun, yang membuat perbedaan itu adalah pembangunan yang semakin berkembang pesat, terutama dalam bidang teknologi. Sebelum mengenal teknologi, segala hal yang kita lakukan menggunakan metode konvensional.
Contohnya, ketika ingin menyampaikan informasi, mau tidak mau, kita harus bertemu langsung dengan orangnya atau mengirim surat.
Bahkan, orang zaman dulu ketika ingin menyebarkan informasi umumnya menggunakan pamflet atau lewat majalah. Kebayang, kan, harus sekuat apa pengaruh orang tersebut dan berapa biaya yang harus dibayarkan ke percetakan?
Lalu, bagaimana jika seseorang ‘yang biasa saja’ ingin mengubah sebuah tatanan sosial dengan biaya dan media yang terbatas? Di mana, bukan hanya satu orang yang ingin ia beri informasi, tapi bisa jadi jutaan orang. Pastinya banyak biaya yang harus dikeluarkan.
Beruntung kalau informasi yang disampaikan akan diterima semua. Seperti yang kita tahu, semakin banyak massa yang datang, informasi bisa jadi terhambat karena keramaian. Inilah yang biasa kita kenal dengan sebutan mass communication.
Nah, kemunculan teknologi mendatangkan harapan baru bagi seseorang yang ingin menyampaikan informasi atau idenya untuk masyarakat dan berharap adanya perubahan sosial. Namun tentunya, tidak terlalu banyak effort yang keluar, baik dari segi biaya maupun tenaga.
Tidak mungkin seseorang harus menemui satu per satu individu untuk menyampaikan idenya. Oleh karena itu, lewat teknologi informasi, ide-ide tersebut dapat disebarkan secara luas. Inilah yang dimaksud Mass-Self Communication Theory yang dicetuskan oleh Manuel Castells.
Mass-Self Commucation Theory merupakan sebuah metode komunikasi yang memungkinan partisipan mengelola informasi yang didapatkan sebagaimana yang terjadi ketika self-communication dan dialami oleh masyarakat luas (mass-communication). Mass-Self Communication muncul karena internet dan melalui platform seperti media sosial yang dapat diakses oleh siapa saja.
Menghancurkan batas-batas yang biasanya dialami dalam komunikasi konvensional. Sehingga, pesan yang disampaikan akan tersebar ke masyarakat luas dan dapat dicerna baik oleh setiap individu. Pada akhirnya, terjadi perubahan yang diharapkan oleh sang penyebar informasi tersebut.
Jadi, nggak perlu keluar banyak biaya untuk membuat pamflet atau majalah. Cukup bermodalkan ponsel dan kuota, setiap orang baik di usia muda hingga lansia, baik orang biasa hingga konglomerat, bisa menyebarkan informasi ke masyarakat.
Artinya, setiap orang bisa memproduksi informasi sebagaimana media pun juga. Sama seperti yang dilakukan oleh para jurnalis atau wartawan, yaitu membuat informasi dan menyebarkannya kepada masyarakat. Hal inilah yang biasa disebut Citizen Journalism.
Namun, perbedaannya adalah para jurnalis media dalam memproduksi sebuah tulisan sebagai konsumsi masyarakat, terikat dengan yang namanya kode etik jurnalistik. Sementara itu, Citizen Journalism sifatnya cenderung lebih bebas dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Terbukti, masih banyaknya peredaran berita hoax di media sosial.
Akhirnya, berujung jadi serba salah. Di sisi lain, dengan adanya kebebasan dalam menyebarkan informasi, secara tidak langsung, mendukung hak kita dalam berpendapat. Namun, di sisi lain dapat menjadi bumerang bagi pembaca apabila informasi yang didapat tidak dianalisis dengan benar adanya.
Terlepas dari sisi negatifnya, media sosial sangat dirasakan manfaatnya baik bagi individu, kelompok, organisasi, lembaga, bahkan hingga ke pemerintahan. Namun, yang terpenting adalah kita sebagai salah satu pihak yang menerima informasi, dapat mencerna baik-baik informasi yang ada. Selain itu, apabila kita berperan sebagai orang yang memproduksi sebuah berita, tentunya kita bertanggung jawab dengan menyertakan data yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Jadi, Teman Sepekan, bagi kamu yang doyan ngonten di media sosial, kamu sadar nggak kalau sudah menggunakan teori ini?
Penulis: Rani Fatmawati
Penyunting: Yohanna Christiani
Referensi: Kartikawangi, D. (2020, May 6). The 2011–2019 Media Literacy Improvement: Strategy and Implementation of Sustainable Community Service Program. MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 4(1), 71–81.