Diambil dari Kumparan.com

Perempuan, Film, dan Sensor Pemerintah

Pesan dan Kanal
4 min readFeb 24, 2020

Sebagai sebuah media, film tentunya sangat menarik bagi banyak kalangan masyarakat. Melalui film, pesan-pesan tentang kehidupan bisa tersampaikan. Salah satu yang berhasil dalam menyampaikan pesannya adalah film berjudul Parasite yang kemaren menang di piala Oscar, karena film itu pemerintah Kota Seoul akhirnya menata rumah-rumah kumuh yang ada disana. Gila sih!

Balik lagi ke awal, film tentunya punya banyak genre mulai dari romantis, superhero, sampai horor. Terkhusus film horor berdasar data dari CNN Indonesia, setiap dua minggu sekali bioskop Indonesia diwarnai film horor baru. Alasannya ya karena orang Indonesia suka dengan hal yang berbau mistis.

Nah, terus gimana ya sama konten dalam tayangan film horor di Indonesia? FYI, film horor Indonesia yang diproduksi sebelum tahun 2011 kebanyakan punya kesan sensualitas atau pornografi dibanding hal mistisnya. Waduhhh.

Hal ini bisa kita liat dari poster-poster film tersebut sebagai sarana periklanan. Tentunya, seperti yang dijanjikan poster film, seorang perempuan seksi pastinya menjadi tokoh utama dan sosoknya lebih mendominasi ketimbang makhluk mistisnya. Sehingga, secara tidak langsung perempuan lewat bentuk tubuh dan adegannya dijual untuk dinikmati khalayak.

Karena hal tersebut, perempuan seakan hanya berfungsi sebagai objek narasi yang menandakan kepasifan (lemah, kebanyakan kalah dalam berbagai situasi). Sedangkan laki-laki, adalah subjek aktif narasi (pemenang, mampu keluar dari beragam situasi sulit). Menurut Hollows (2000) dalam Feminisme, Feminitas, & Budaya, Citra perempuan dalam film itu bisa kita lihat dari dua sisi, yaitu fetisisme dan voyeurism.

Dari sisi fetisisme, film mengubah perempuan menjadi citra yang aman, dapat dinikmati dan tidak mengancam dengan mengubah beberapa bagian tubuhnya menjadi pusat perhatian pada beberapa aspek perempuan yang dibuat menyenangkan, misalnya kaki dan rambut.

Sedangkan voyeurisme, film mencoba menginvestigasi perempuan, memahami misterinya, kemudian menganggap perempuan sebagai sosok yang dapat diketahui, dikendalikan, dan merupakan subjek kekuasaan laki-laki. Intinya, perempuan dijadikan sebagai sumber kenikmatan laki-laki.

Tentunya, adanya kedua sisi itu membentuk konten sensualitas dalam film, terutama yang bergenre horor di Indonesia. Harytmoko (2007)dalam Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, Pornografi kehadiran pornografi dan sensualitas dalam film horor dikhawatirkan menjadi pengaruh buruk bagi masyarakat yang menonton khususnya kalangan remaja. Apalagi pornografi cenderung lebih merugikan perempuan seperti kekerasan.

Sensor Dalam Film: Upaya Pemerintah Melindungi Citra Perempuan?

Untuk melindungi para perempuan dari konten-konten yang udah kita bahas diatas, pemerintah sudah punya solusi yaitu peraturan tentang sensor film. Menurut mereka, sensor film ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dari nilai-nilai yang disampaikan film yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Salah satunya, Undang-Undang No.33 tahun 2009 yang mengatur segala aspek yang terlibat dalam pembuatan hingga penayangan film, dibahas secara detail di Pasal 57 sampai Pasal 66 mengenai sensor dalam film.

Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2014 yang mengatur Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi, LSF ini adalah lembaga yang menangani penyensoran untuk film-film yang akan beredar di Indonesia. Lembaga ini bersifat independen dan perwakilannya tersebar di ibu kota provinsi Indonesia.

Untuk prosedur sensornya, dilakukan berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap konten film. Konten-konten itu adalah tema, adegan, suara, gambar dan teks terjemahan. Nah, hal-hal yang disensor pemerintah adalah segi kekerasan, perjudian, narkotika, pornografi, suku, ras, kelompok, golongan, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, sampai usia penonton film.

Sehingga apabila suatu film akan ditayangkan, harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor yang dikeluarkan oleh LSF (Lembaga Sensor Film). Proses penyensoran film tersebut tentunya dilakukan dengan dialog bersama pemilik film agar dapat dibenahi sebelum ditayangkan ke masyarakat.

Sudah Efektifkah Sensor Film Indonesia?

Kata Anshari (2014) dalam Sistem Klasifikasi dalam Pemutaran Film, Sensor film berupa penggolongan usia ternyata masih menuai kontroversi akibat pelanggaran yang sering terjadi. Kategorisasi “adults only” (khusus dewasa), dalam kasus film horor, justru akan mengundang minat kelompok umur yang belum dewasa, sehingga menjadi publikasi gratis untuk menarik keingintahuan anak-anak.

Selain itu, klasifikasi film juga tidak bisa menjamin konsistensi dalam penerapannya. Kecenderungan yang mungkin timbul adalah pengusaha bioskop tidak peduli dan tidak tegas menolak penonton di luar kategori film yang ditayangkan, karena orientasinya adalah kepentingan bisnis. Dengan demikian, sistem ini dianggap tidak sepenuhnya mampu melindungi kelompok anak-anak.

Harytmoko (2007) juga mengatakan kalau upaya penyensoran terhadap konten-konten pornografi tidak terlepas dari nilai paternalistik negara. Nilai tersebut diambil karena sudah dianggap luhur di setiap kehidupan di Indonesia.

Sehingga dalam melakukan penyensoran, negara hanya memiliki tiga tujuan utama, yaitu menjaga keteraturan dan kepantasan publik dengan melindungi khalayak rentan dari konten gambar, tulisan, atau audiovisual yang dianggap berbahaya dan merugikan. Kedua, melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek pornografi atau korban eksploitasi, pelecehan atau kekerasan seksual. Ketiga, mencegah dan menghukum semua yang dikategorikan melanggar batas moral di luar pernikahan.

Sebenernya pemerintah udah punya cara untuk memperbaiki kualitas film Indonesia serta melindungi citra perempuan dalam film. Akan tetapi, adalah sebuah rahasia umum kalau industri media, khususnya film, kadang bandel dan melanggar aturan. Apalagi lembaga terkait kadang nggak tegas menindak pelanggarnya. Yang paling penting, apakah metode sensor film ini sudah punya dasar yang benar?

Penulis: Ainun Rahma Asmoroweni

Penyunting: Ajie Prasetya & Muhammad Alberian Reformansyah

Sumber:

Anshari, I. N. (2014). Sistem Klasifikasi dalam Pemutaran Film. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 221.

Haryotmoko, D. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.

Hollows, J. (2000). Feminsme, Feminitas & Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Pesan dan Kanal
Pesan dan Kanal

Written by Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!

No responses yet

Write a response