Diambil dari healthline.com

Menjadi Diri Sendiri di Second Account

Pesan dan Kanal
5 min readJun 18, 2020

Hingga saat ini, media sosial punya peran penting sebagai sarana self-expression. Apalagi dengan booming-nya Instagram yang lagi di kalangan milenial. Pertumbuhan penggunaan media sosial berbasis fotografi ini selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, terkhusus di era pandemi ini penggunaannya melonjak hingga sebesar 40% di Indonesia.

Eksistensi Instagram tambah kuat dengan didukung oleh fitur-fitur yang menarik attention penggunanya. Nggak cuma sebatas upload hasil swafoto atau video, Instagram juga bisa jadi ajang bisnis, komunikasi, belajar, dan masih banyak lagi. Interaksi sosial antarindividu pun semakin bisa erat karena adanya komunikasi yang dapat terjalin intens dari kegiatan online pada platform Instagram.

Instagram dapat digunakan oleh siapapun sebagai suatu medium yang bisa berperan sebagai ajang representasi diri maupun untuk memperlihatkan eksistensi individu. Apa-apa yang ditampilkan pada instagram mampu dikatakan sebagai data atau identitas yang memang bersifat real seperti yang ada di dunia nyata.

Akan tetapi, hal ini justru bisa berdampak sebaliknya. Pengguna Instagram siapapun itu punya kesempatan dan hak untuk sengaja melakukan konstruksi mengenai identitas yang totally different dengan apa yang sebenarnya ada di real life. Kondisi tersebut memiliki konsep yang sama dengan sebuah kajian klasik mengenai hubungan antara konstruksi identitas dengan teknologi berjaringan (networked technology) yang telah dilakukan pada 1995 oleh Sherry Tukkle. Menurutnya, di dunia maya identitas berubah menjadi lebih cair dan ter-fragmentasi (Kennedy, 2014).

Hutan Rimba Dunia Maya

Hidup di dalam ruang maya seperti Instagram menciptakan beragam konflik di dalam individu. Rasanya langkah gerak tumbuh menyempit, banyak mata bekerja jadi penilai, dan aturan tanpa makna semakin menekan.

“Kok kamu kurusan? Eh enggak sih, gendutan.”

“Upload foto terooos…”

Feeds-mu bagus banget deh.”

“Dih, gitu aja di bikin story.”

Tanggapan-tanggapan remeh tersebut seakan jadi cermin bahwa eksistensi diri butuh banget sama namanya validasi dari orang lain. Tidak bisa dihindari lagi, pada realitanya Instagram seperti menuntut para penggunanya untuk menjadi a perfect person di mata audiens mereka.

But, not everyone can deal with them all the time; isn’t it?

Dari rasa tertekan untuk tampil baik di mata followers-nya, para pengguna ini akhirnya menciptakan alter ego lewat akunnya yang lain, lebih dikenal sebagai second account. Akun alter atau second account ini diartikan sebagai akun dimana penggunanya dapat mengekspresikan diri mereka dengan leluasa serta sesuka hati — yang ironisnya, enggak bisa dilakukan di akun utamanya.

Second Account: Safe Space Pengguna di Dunia Maya?

Survei HAI membuktikan bahwa sebanyak 46% remaja punya second account pada Instagram mereka. Bahkan, sebesar 60% remaja yang telah memiliki second account itu, masih punya 2 buah akun alter lainnya dan lebih dari setengahnya sengaja di-private dan menutup identitas asli mereka.

Tentunya, keberadaan akun ini diakibatkan oleh ketidaknyamanan dan kecemasan yang ada di akun utamanya.

Makna mengenai adanya standar hidup yang tercipta di Instagram dapat menyebabkan kecemasan pada masing-masing individu. Bahkan, beberapa individu bisa merasa tidak nyaman untuk melanjutkan proses interaksi sosialnya di dunia maya.

Kecemasan di dalam berkomunikasi disebut sebagai communication apprehension. Diungkapkan oleh West & Turner (2009), kondisi tersebut sebagai sebuah ketakutan berupa perasaan negatif yang mampu dirasakan oleh individu dalam melakukan sebuah proses komunikasi, yakni berupa perasaan panik, gugup, dan tegang. Menurut mereka, Evaluation from others akan semakin meningkatkan tingkat kecemasan individu di dalam lingkup komunikasi mereka di platform Instagram. Interaksi sosial yang mulanya menjadi kebutuhan primer seakan menjadi monster yang menakutkan bagi kalangan tertentu.

Oleh karena itu, pengguna Instagram sengaja menciptakan dua akun untuk tetap survive. Satu akun berperan untuk mempresentasikan diri individu yang real atau sesungguhnya nyata. Sedangkan, akun lainnya merupakan akun yang menyajikan aspek imaji diri yang sebenarnya ingin dibangun oleh pemiliknya.

Adanya pengguna yang memiliki dua akun atau lebih ini juga bisa disebut bahwa pemilik akun tersebut tidak mampu show up dirinya pada di main account karena cemas terhadap perihal penilaian orang lain dan biasanya digunakan untuk menekankan citra diri yang ideal atas standar yang ditetapkan oleh orang lain — menjadi “topeng utama” untuk representasi dirinya sendiri.

Second account dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk menghibur diri, mengunggah video guyon, swafoto, hingga kegiatan sehari-hari. Akun tersebut jadi safe space buat penggunanya, sehingga dia enggak perlu khawatir tentang komentar-komentar dari netizen. Fitur private yang digunakan pengguna untuk memfilter followers-nya juga membebaskan mereka untuk selektif memilih audiensnya, sehingga, akun alter bakalan dirasa seperti dunia baru.

Private account tersebut itu jadi privilege buat para pengguna agar mereka bisa self-love. Selain bisa jadi anonym dalam sekejap, akun tersebut juga bebas berkomentar, likes, stalking, direct message ke pengguna lain.

Media Sosial Ajang Dramaturgi

Konsep identitas jadi bagian yang penting di dalam Instagram karena telah memunculkan sisi lain atas identitas yang selama ini sudah hadir di dunia maya. Instagram membuka terhadap perubahan-perubahan di dalam definisi hingga pembangunan identitas. For your information, ada sebuah teori yang erat banget kaitannya sama fenomena ini, yaitu Dramaturgi.

Teori yang dipaparkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 melalui bukunya The Presentation of Self in Everyday Life. Ia menjelaskan bahwa individu di dalam kehidupannya mempunyai sesuatu yang disebut sebagai panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage). Saat individu tertentu melakukan interaksi, ia akan memilih mengenai peran mana yang akan dijalaninya nanti. Panggung depan berarti sebagai apa yang ditampilkan ketika ia berinteraksi dengan pihak lain atau di dalam kelompok pada masyarakat, yakni sebagai identitas sosialnya. Sedangkan panggung belakang ialah ruang di mana individu dapat menyembunyikan identitas personalnya (Nasrullah, 2016).

Pada akhirnya, semua tindakan kita di sosial media pun harus diniatkan dan dimaknai dengan hal-hal yang membangun. Fasilitas yang ada dan kebebasan kita melalui akun alter, jangan sampai malah jadi boomerang buat kita sendiri. Usahain dengan punya second account, kita memanfaatkannya dengan baik untuk diri kita, dan diri orang lain.

Penulis : Syarifah Nur Aini
Penyunting: Muhammad Alberian Reformansyah

Daftar Pustaka :

Kennedy, H. (2014). Beyond Anonymity, or Future Directions for Internet Identity Research. In A. Poletti, & J. Rak, Identity Technologies: Constructing the Self Online (pp. 25–41). Wisconsin: The University of Wisconsin Press.

Nasrullah, R. (2016). Teori dan Riset Media Siber. Jakarta: Prenadamedia Group

Pamungkas, I. R., & Lailiyah, N. (2019). PRESENTASI DIRI PEMILIK DUA AKUN INSTAGRAM DI AKUN UTAMA DAN AKUN ALTER. Interaksi Online, 7(4), 371–376.

West, Richard and Lynn H. Turner (2009). Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi: Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Pesan dan Kanal
Pesan dan Kanal

Written by Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!

No responses yet

Write a response