Kenapa RCTI-iNews Menggugat Netflix dan Youtube?
Sudah jadi pengetahuan umum kalau media konvesional macam televisi memiliki pesaing baru akibat adanya internet. Peralihan bentuk penyiaran ke internet juga telah terbukti bahwa internet mampu memuaskan kebutuhan hiburan audiens secara lebih luas dibanding media-media lain (Valkenburg & Soeters, 2001). Akhirnya, Media-media “lama” perlu kerja lebih keras untuk menguatkan popularitasnya dalam mendapatkan khalayak untuk terus beroperasi, secara inovasi atau cara lainnya. Jalur hukum misalnya, hehe.
Baru-baru ini, pihak RCTI & iNews menggugat Netflix & Youtube.
RCTI dan iNews melayangkan gugatannya perihal UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pihak ini mengungkapkan rasa kekhawatiran atas konten-konten yang akan muncul di platform daring itu, bisa berpotensi bertolakbelakang dengan prinsip UUD 1945 dan Pancasila. Dengan dasar tersebut, mereka meminta agar setiap bentuk siaran yang memanfaatkan internet dapat tunduk kepada UU Penyiaran.
Dua stasiun TV swasta ini menilai bahwa Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran belum mencakup penyiaran yang menggunakan internet.
Judical review yang mereka ajukan atas Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi :
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Pihak RCTI & iNews menilai bahwa rumusan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran mampu menimbulkan multi-interpretasi yang bisa berujung kontroversi di mata publik.
Secara hukum diatas, dua stasiun TV ini merupakan penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio, dan tunduk pada UU Penyiaran. Alhasil, konten-konten yang disajikan pun diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan penyiaran berbasis internet tidak memiliki kewajiban untuk tunduk kepada UU Penyiaran dan tidak ada pengawasan apapun. Kondisi tersebut disebut dianggap sebagai perlakuan yang berbeda atau unequal treatment.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mengamini bahwa pihak penyedia konten seperti Netflix maupun Youtube memang belum diatur di dalam UU Penyiaran, karena keduanya termasuk kategori media konvergen. Isi kontennya bersifat penyiaran, tetapi mempunyai bentuk frekuensi telekomunikasi. DPR pun juga setuju bahwa aturan OTT (Over The Top)masih abu-abu, sehingga KPI nggak punya wewenang untuk mengawas konten-konten Netflix dan Youtube.
Selain gugatan UU Penyiaran, Netflix juga jadi sasaran pajak digital pemerintah.
Direktorat Jenderal Pajak mengatakan bahwa pemerintah akan segera mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk produk digital yang berasal dari luar negeri. Perusahaan OTT dari Netflix hingga Zoom pun masuk target perpajakan itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. PPN ini ditujukan pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) terhadap semua kalangan pelaku usaha.
Kedua kejadian diatas akhirnya menimbulkan pertanyaan,
Apakah kejadian tersebut merupakan bukti bahwa saluran TV kalah pamor?
Sejak program lockdown dan Work From Home dimulai, akses Netflix dan Youtube mengalami peningkatan. Netflix menyatakan bahwa terjadi peningkatan hingga 15,8 juta pelanggan berbayar pada triwulan I-2020. Jadi, kalau dihitung, sudah ada 182,9 juta pelanggan berbayar diseluruh dunia. Berdasarkan laporan We Are Social, Indonesia sendiri memiliki 175,4 juta pengguna internet, dengan Youtube sebagai akses situs terbanyak.
Ditambah lagi, untuk menikmati konten berbayar Netflix tuh simple. Kita bisa akses lewat media smartphone, tablet, laptop, atau smart TV. Sekali langganan, kita bisa mengakses beragam konten yang tersedia di Netflix, dari serial sampai film tanpa khawatir bakal diganggu sama jeda iklan. YouTube juga memiliki beberapa aspeknya, kita bisa nonton video sesuai beragam konten, dan kualitas yang kita mau, dan bisa di download pula. Kondisi ini menjadikan Netflix maupun Youtube merajai media penyiaran di masa pandemi ini.
Data diatas bisa jadi bukti kalau masyarakat lebih menikmati konten-konten kedua streaming services tersebut daripada konten TV. Namun, kita pun tidak bisa langsung menyimpulkan jikalau eksistensi media konvensional seperti televisi telah mengalami fase redup. Faktanya, masih ada kalangan yang memiliki minat menonton tayangan di televisi konvensional. Terutamanya individu yang tidak mempunyai fasilitas akses internet secara mudah atau generasi tua yang masih gemar konten yang disajikan pada televisi konvensional.
Hmm ternyata cukup complicated ya. Jadi, kalau kalian mendingan streaming Netflix sama Youtube atau nonton lewat televisi konvensional, guys? Gimana tanggapan kalian tentang isu ini?
Techology is just a tool. In terms of getting the kids work together and motivating them, the teacher is the most important. (Bill Gates)
Penulis : Syarifah Nur Aini
Penyunting: Muhammad Alberian Reformansyah
Daftar Pustaka :
Valkenburg, M.P., & Soeters, K.E. (2001). Children’s positive and negative experiences with the internet : An exploratory survey. Communication Research. 28(5). 652–675