YellowPhoto by Thomas Charters on Unsplash

Karena Cuan, Terbitlah Koran Kuning

Pesan dan Kanal
5 min readMay 8, 2020

Ketika era Orde Baru, media-media yang kritis terhadap pemerintah dibredel karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Media-media kala itu harus punya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), berisi tentang ketentuan-ketentuan perusahaan media yang harus dipenuhi, serta sebuah ‘kartu sakti’ yang diciptakan Harmoko, Menteri Penerangan kala itu.

Masuk ke era Reformasi, dunia pers berubah drastis. Dibawah kepemimpinan BJ Habibie, Indonesia membuka keran kebebasan pers seluas-luasnya lewat beberapa peraturan seperti Undang-Undang №39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang №40 tahun 1999 tentang Pers yang menggantikan SIUPP.

Sejak saat itu, pers di Indonesia mengalami perubahan dalam mengekspresikan kebebasan. Perubahannya ditandai dengan kemunculan media-media baru dari cetak hingga penyiaran, dengan beragam ‘style’ dan segmentasi audiensnya. Mulai beraninya pers dalam mengkritik penguasa atau pemerintah juga jadi ciri baru pers era Reformasi. Sama halnya dengan organisasi atau lembaga pers yang mulai muncul ke permukaan di masa Reformasi, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang sempat dilabel organisasi terlarang oleh Orde Baru.

Koran Kuning: Media Bermotif Cuan

Seperti yang dikatakan dalam Undang-Undang Pers №40 tahun 1999 di pasal 3, selain sebagai media informasi, pers juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Sebagai lembaga yang harus cari cuan, pers harus memanfaatkan produknya untuk dijadikan nilai jual. Masalah ini menjadikan pers harus berfikir untuk memperoleh profit. Nggak jarang juga mereka menciptakan solusi yang ‘tidak biasa’ agar mendapat penjualan yang tinggi, apalagi kalau perusahaan media tersebut hanya berorientasi pada keuntungan.

Berangkat dari motif ekonomi inilah, media cetak yang biasa disebut “koran kuning” atau yellow journalism lahir. Kalau menurut KBBI, koran kuning diartikan sebagai surat kabar yang sering kali membuat sensasi. Menurut Shirley Biagi (2011), teknik-teknik yang digunakan koran kuning dalam beritanya bisa berupa membesar-besarkan suatu peristiwa dan menjual skandal-skandal yang menciptakan sensasionalisme.

Diambil dari history.com

Yellow journalism ini sudah diterapkan sekitar tahun 1800-an di Amerika Serikat. Istilah ini berasal dari persaingan surat kabar di New York antara penerbit surat kabar Joseph Pulitzer dan William Randolph Hearst. Awalnya, koran kuning bahkan tidak berisi informasi mengenai suatu kejadian, tetapi berbentuk strip kartun populer yang menceritakan kehidupan di gang-gang kota New York. Namun, sensasionalisme kartun tersebut diaplikasikan oleh Pulitzer dan Heartz dalam menjual koran yang memberitakan konflik Amerika Serikat dengan Spanyol, hingga akhirnya berujung perang.

Bangkitnya Koran Kuning di Indonesia

Surat Kabar Kalimantan Berdjuang| Diambil dari jejakrekam.com

Menurut Abdul Malik (2017), koran kuning ini sudah lahir di Indonesia sejak era Demokrasi Liberal pada tahun 1950. Adanya multipartai yang menopang sendi politik di era tersebut memicu kemunculan surat kabar dari masing-masing partai, sehingga tiap partai akan saling menyerang lawan politiknya dengan berita-berita yang sensasional. Dampaknya, surat kabar yang terlibat oleh partai seringkali terseret kedalam peperangan berita dengan surat kabar lainnya dengan tujuan saling menjatuhkan. Beberapa surat kabar yang menerapkan yellow journalism kala itu adalah surat kabar “Kalimantan Berdjuang” dan koran “Pemandangan”.

Diambil dari remotivi.com

Hingga pergantian pemerintahan ke Orde Baru, yellow journalism masih eksis di Nusantara, bahkan kali ini dipelopori oleh Menteri Penerangan Harmoko. Pada 1970, Harmoko mendirikan sebuah media cetak yang “khusus ibu kota” bersama wartawan-wartawan pro-Soeharto serta ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)yang dinamakan “Pos Kota”.

Surat kabar ini ditujukan untuk kalangan kelas bawah ibu kota kala itu, dan berhasil terbit sebanyak 3.500 eksemplar pada April 1970 yang jumlahnya terus meningkat tiap bulannya. Pos Kota dijual dengan harga Rp. 10,00, harga yang sama dengan ongkos naik bus kota kala itu. Menurut Abdul Malik (2017), koran itu jadi populer di kalangan masyarakat kelas bawah ibu kota, walaupun umurnya belum genap setahun.

Selain harganya yang sangat friendly, konten-konten berita yang ada di Pos Kota juga jadi favorit para pembacanya. Berita-berita yang disajikan bertema kriminalitas, kekerasan, dan seksualitas yang tentunya dihias dengan gaya bahasa sensasional, sama halnya dengan koran kuning Amerika Serikat pada tahun 1800-an. Menariknya, Pos Kota masih eksis hingga sekarang, bahkan beralih ke situs daring.

Ketika kebebasan pers berkumandang di era Reformasi dan Orde Baru runtuh, popularitas Pos Kota tetap tidak berubah, bahkan sempat mengalahkan surat kabar ternama Kompas pada 2005. Kepopuleran Pos Kota ini justru menebalkan nyali surat kabar Harmoko itu. Headline berita yang makin ganas dan lebih sensasional lagi dari sebelumnya, begitu pula dengan foto dan ilustrasi yang ditampilkan.

Diambil dari ebook.gramedia.com

Popularitas Pos Kota juga menginspirasi koran kuning lainnya seperti koran Lampu Merah yang terbit non-stop di Jakarta yang kemudian berubah nama menjadi Lampu Hijau, serta beberapa kota lainnya. Teknik penyampaian beritanya pun tidak berbeda dengan Pos Kota seakan kedua media cetak ini berlomba-lomba membuat berita yang sensasional.

Apa Dampak dari Koran Kuning?

Kata Abdul Malik (2017), yellow journalism adalah praktik yang mengaburkan makna, bahkan ada yang menyebutkan koran kuning bukan produk jurnalistik karena teknik pemberitaan yang bertolak belakang dengan etika jurnalistik.

Namun, popularitas dari koran kuning ini justru membahayakan pemahaman masyarakat dalam menghadapi suatu peristiwa. R.H Siregar memberi pernyataan di buku WA Sukardi (2007) yang berjudul Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers bahwa apabila jurnalis gagal mempraktikan etika jurnalistik sebagaimana yang dilakukan koran kuning, maka pers akan cenderung main hakim sendiri, sehingga mempengaruhi masyarakat untuk main hakim sendiri juga.

Penulis: Abruron Baharsyah
Penyunting: Muhammad Alberian Reformansyah

Daftar Pustaka

Biagi, S., 2012. Media impact: An introduction to mass media. Cengage Learning.

Malik, A., 2017. Jurnalisme Kuning,‘Lampu Kuning’ Etika Komunikasi Massa. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2).

Sukardi, W.A., 2007. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Dewan Pers.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Pesan dan Kanal
Pesan dan Kanal

Written by Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!

No responses yet

Write a response