Influencer itu Ada, dan Mereka Berlipat Ganda

Masa pandemi ini tentu ningkatin penggunaan internet di seluruh dunia. Segala kegiatan sehari-hari yang dilakukan secara tatap muka atau pergi ke suatu tempat, semua beralih ke dunia digital secara singkat. Dibalik migrasi ke dunia maya, dunia juga diambang oleh resesi ekonomi yang bakal bikin kepala pusing.
Selain teriakan warga terhadap kedatangan resesi global dan pandemi yang nggak keliatan ujungnya, aksi-aksi influencer di jagat media sosial juga nambah bising teriakan mereka.
Dari kasus opini sang “musisi konspirator”yang memiliki satu juta pengikut di Instagram sampai para selebriti yang nge-endorse kebijakan ekonomi yang kontroversial dan berujung klarifikasi, media sosial bak medan perang para netizen yang pro-kontra.
Fenomena influencer di media sosial ini mungkin hampir sama dengan fenomena buzzer, karena mampu membentuk opini publik dan bisa menyebabkan kegaduhan yang sama pula.
Lalu….
Apa Bedanya Influencer dan Buzzer?
Dari segi bahasa, kamus Oxford mengartikan influencer sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pembeli dari sebuah produk atau jasa dengan mempromosikan atau merekomendasikan produk tersebut di media sosial.
Influencer juga memiliki beberapa syarat biar bisa dibilang seorang ‘influencer’, salah satunya adalah jumlah followers atau audiens yang cukup banyak. Selain itu, influencer juga harus memiliki daya tarik dan trustworthiness bagi para followers-nya (Wiedman & von Mettenheim, 2020). Maka dari itu, kebanyakan influencer adalah seseorang yang juga populer di kehidupan nyata seperti selebriti, politikus, dan lainnya.
Seperti pengertiannya, influencer jadi salah satu instrumen marketing yang populer di bisnis era internet kayak sekarang ini. Perannya bisa dibilang cukup penting dalam meningkatkan brand awareness, khususnya untuk audiens si influencer tersebut.
Penelitian Adha, dkk. (2020) juga telah menemukan bahwa seorang influencer mampu mempengaruhi perilaku konsumen untuk tertarik pada suatu produk dalam kasus endorsement dari Yudha Refrizal. Temuan ini diperkuat lagi dengan penelitian Jin & Muqaddam (2019) bahwa brand yang menggunakan peran social media influencer dalam memasarkan brand-nya lebih mampu menarik konsumen daripada pemasaran langsung dari brand itu sendiri.
Baca Juga: Buzzer: The New Normal of Propaganda
Sedangkan definisi buzzer berangkat dari dari buzz marketing, sebuah kegiatan pemasaran pada saluran komunikasi untuk menciptakan gangguan kepada kompetitor perusahaan dengan harapan dapat menarik target audience.
Sama kayak influencer, buzzer juga digunakan untuk metode marketing, tetapi lebih agresif. Bedanya, buzzer lebih dikenal sebagai alat propaganda politik yang menyebar pesan-pesannya di akun-akun yang memiliki banyak audiens dan memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma media sosial sampai pesannya mencapai trending topic.
Buzzer pun nggak harus punya followers atau audiens untuk menyebarkan pesan mereka, tetapi cukup meludah pesannya di kolam penuh netizen dan manfaatin algoritma media sosial.
Dari perbedaan yang cukup signifikan ini, influencer juga mampu digunakan untuk menyebarkan pesan yang sama seperti buzzer. Cuman, dengan pendekatan yang lebih “friendly” dan dekat dengan audiens mereka. Contohnya bisa dilihat kasus endorsement Omnibus Law.
Selain itu, sebagaimana yang diulas Remotivi, influencer bisa digunakan sebagai pengiklan, humas, hingga jurnalis. Walaupun baru sering kita dengar di era informasi ini, keberadaan influencer sebenarnya sudah lama.
Asal-Usul Influencer
Sebenernya, influencer udah ada sejak abad pertengahan. Menurut Grin.co, Seorang Paus dan Ratu pernah meng-endorse sebuah obat-obatan yang berguna untuk seluruh masyarakat, karena pada saat itu obat tersebut belum dipercaya oleh masyarakat. Kisah tersebut diabadikan dalam sebuah cerita rakyat di era tersebut.

Memasuki tahun 1950-an, selebriti mulai digunakan untuk mempromosikan sebuah brand. Kala itu, selebriti Doris Day ditampilkan dalam sebuah poster untuk mempromosikan perlengkapan road rolling. Di masa ini, selebriti mulai digunakan sebagai instrumen marketing oleh brand dan muncul dalam banyak bentuk iklan dari audio hingga audio visual.

Saat itu, setiap selebriti yang terkenal di dunia bisa disebut sebagai seorang influencer. Tetapi, ada salah satu seleb yang paling berpengaruh pada masanya, yaitu Princess Diana, istri dari Pangeran Charles, putra mahkota kerajaan Inggris.
Di era tersebut, fashion yang dikenakan Princess Diana menjadi trend, dari setelan pakaian gaun dan kaos sampai perhiasan-perhiasannya. Bahkan, pengaruhnya di bidang fashion mempunya istilah sendiri, yaitu ‘Diana Effect’.
Baca Juga: Fashion Photography: Bingkai Busana Manusia
Hingga akhirnya muncul internet bersama penemuan platform media sosial seperti Facebook dan Youtube, yang memudahkan semua orang untuk menjadi social media influencers. Lewat media sosial, netizen bisa menciptakan personal branding yang unik hingga mampu menarik netizen lainnya untuk menjadi audiens atau followers-nya.
Sekarang, bisa dibilang hampir semua warga planet Bumi menggunakan internet dan media sosial. Untuk bisa terkenal, sekarang nggak harus punya karya dan jadi aktor di sebuah film. Cukup bermodal vlog berisi kehidupan sehari-hari, seorang netizen pun bisa jadi konten agar viral dan terkenal dalam sekejap, bahkan bisa menjadikannya influencer.
Gimana Peran Influencer Kedepan?
Kasus endorsement Omnibus Law, Cerita Jerinx dan isu konspirasi pandemi, hingga wawancara Deddy Corbuzier bisa dibilang jadi refleksi masa depan para influencer. Mengingat penggunaan internet di Indonesia mencapai 64 persen penduduk di tahun ini dan dijamin akan terus meningkat, prospek dan kesempatan untuk menjadi influencer pun bisa jadi akan terus naik.
Sebuah opini dari influencer udah jelas bakal jadi rujukan bagi audiensnya, sebuah endorsement dari influencer bisa jadi rekomendasi bagi audiensnya, pokoknya apapun bisa dipengaruhi oleh seorang influencer.
Bahkan pemerintah sendiri udah menyiapkan anggaran dengan jumlah yang nggak main-main untuk para influencer, walaupun terus mengelak kalau pemerintah menyewa jasa tersebut.
Hal ini bisa jadi momen bahwa pekerjaan influencer itu ada, dan prosesnya nggak serumit ujian CPNS. Kamu cuma harus membuat konten atau kehidupan sehari-hari yang (dibuat) menarik biar jadi influencer. Dengan melihat berbagai prospek, dan selama internet masih ada, selama konsep adsense masih ada, social media influencer dijamin berlipat ganda dan nggak ada matinya.
Penulis: Muhammad Alberian Reformansyah
Daftar Pustaka:
Wiedmann, K.P. and von Mettenheim, W., 2020. Attractiveness, trustworthiness and expertise–social influencers’ winning formula?. Journal of Product & Brand Management.
Adha, S., Fahlevi, M., Rita, R., Rabiah, A.S. and Parashakti, R.D., 2020. Pengaruh Sosial Media Influencer Terhadap Pengaruh Minat Kerja Antar Brand. Journal of Industrial Engineering & Management Research, 1(1), pp.127–130.
Jin, S.V. dan Muqaddam, A., 2019. Product placement 2.0:“Do brands need influencers, or do influencers need brands?”. Journal of Brand Management, 26(5), pp.522–537.