CoPhoto by Ahmed Carter on Unsplash

Fashion Photography: Bingkai Busana Manusia

Pesan dan Kanal
5 min readMar 31, 2020

Bisa dibilang, fashion udah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Semua barang yang kita pake dari ujung rambut sampai kaki adalah bagian dari fashion kita. Kata Polhemus dan Procter (dalam Barnard, 2002), istilah fashion sering digunakan sebagai sinonim dari istilah gaya dan busana dalam masyarakat kontemporer barat.

Tetapi, gaya keseharian pakian dan aksesoris yang kita pakai bukanlah sekedar penutup tubuh. Fashion yang kita kenakan menjadi bentuk alat komunikasi identitas pribadi (Hendariningrum, 2008).

Uniknya lagi, setiap era mempunyai tren fashion-nya masing-masing yang dibentuk oleh media culture yang ada pada saat itu. Salah satu media pembentuk budaya tersebut adalah fotografi.

Lalu, gimana sih fotografi fashion berkembang dari waktu ke waktu? Bagaimana fotografi fesyen berkembang ditengah masyarakat? Dampak apa sih yang dibawa oleh fotografi fashion?

Perjalanan Panjang Fashion Photography

Fashion photography melalui perjalanan panjang untuk diakui sebagai media berekspresi yang memilik pengaruh. Dalam rilis Highs-Nobiety, salah satu portal informasi fashion urban global, menyebutkan bahwa fotografi fesyen modern mulai muncul sekitar tahun 1910–1934.

Pada tahun tersebut, majalah-majalah fashion besar mulai saling bersaing. Fashion photography kala itu memiliki kesan- kesan futuristik, memisahkan diri dari kesan renaisans klasik. Model foto yang kerap digunakan adalah wanita yang dianggap cute dan cantik-lemah lembut, serta menggunakan busana-busana mewah yang ada pada saat itu(Marien, 2006 : 482).

Sekitar tahun ‘40–60-an, fotografi fesyen mengalami perubahan besar. Model yang biasanya diposisikan statis dalam studio foto dialihkan ke seting luar ruangan dengan kesan candid. Di era berikutnya, fashion photography memancing kontroversi karena mulai mengeksploitasi wanita dengan tema female nudity dan surealisme.

Menurut Garner, dkk (1980), di era ‘70–80-an inilah yang membuat popularitas majalah dewasa seperti Playboy meningkat drastis. Playboy membangun body image dengan mempopulerkan model wanita di centerfold majalahnya yang memiliki berat badan yang jauh lebih rendah dibanding rata-rata berat badan perempuan pada saat itu. Ini mungkin jadi alasan pula mengapa standar kecantikan wanita adalah faktor tubuh yang kemudian dikatakan ideal.

Masuk ke akhir tahun abad ke-20, fotografi fesyen memasuki era komersialisme brand. Komersialisme brand ini muncul karena kelas menengah mulau memperhatikan fashion yang mereka kenakan. Memanfaatkan hal itu, brand-brand industri fashion seperti Levi’s sampai Calvin Klein mengambil alih aliran fashion photography, yang kemudian mengawinkan fashion dengan fotografi iklan.

Selain itu, model-model yang digunakan mulai merambah ke tokoh-tokoh terkenal seperti selebritis, aktor/aktris, sampai penyanyi. Sayangnya, tren tersebut tidak berlangsung lama.

Pada tahun 2000-an, tren fashion photography kembali lagi ke era ‘70–80an, yaitu hiperseksualitas. Bedanya, eksploitasi tubuh wanita (ketelanjangan dan seksual), lebih ekstrim dari era sebelumnya. Karena hal tersebut, fotografi fashion seolah lebih menunjukan seksualitas model daripada fashion itu sendiri.

Hingga pada 2010-an, trend berputar kembali ke nuansa kemewahan. Konten-konten fotografi fesyen mengambil tema glorifikasi kemewahan dan kekayaan, hanya saja dibungkus dengan layout dan setting yang lebih modern. Brand fashion dunia seperti Versace, Chanel, dan Gucci adalah salah satu brand yang mempopulerkan tren tersebut secara masif. Hingga pada akhirnya muncul street fashion.

Simbiosis Mutualisme Instagram dan Street Fashion

Street fashion atau fesyen jalanan adalah istilah populer untuk menyebut gaya busana masyarakat sehari-hari diluar standar mainstream fesyen. Kata Shinkle (2008), media terkhusus fotografi, telah menggambarkan fashion bukan sekedar menampilkan sosok glamor model profesional berbusana mewah. Kini, pemberitaan tentang fashion mengambil latar kehidupan sehari-hari .

Penggambaran tersebut juga diperkuat oleh hadirnya media-media baru yang membantu masyrakat sipil untuk mengekspresikan fashion mereka ke dunia dengan mudah melalui platform media sosial seperti Instagram.

Menurut Osman (2017), per April 2017, Instagram punya 700 juta pengguna aktif, tiga kali lebih banyak daripada Whatsapp dan Facebook Messenger. 70% lebih bisnis di Amerika Serikat menggunakan Instagram per 2017, meningkat 22% dari 2016. Pengguna Instagram sendiri, lebih dari 50% berusia 18–29 Tahun.

Walaupun dalam instagram konten kategori fashion hanya sebesar 5% dibandingkan kategori selfies (dalam hal ini selfie yang dimaksud ialah yang menunjukan wajah, baik hanya wajah maupun seluruh anggota tubuh) 24.2% (Hu, Manikonda, Kambhampati, 2014), gak bisa kita sepelekan juga kalau pengguna instagram yang melakukan selfie ini pasti memperhatikan penampilan mereka.

Lewat Instagram, kita bisa lihat bagaimana sebuah fesyen jalanan terus menjalar sebagai budaya populer. Berbagai gaya dapat dianggap sebagai fesyen, bahkan sesimpel mengenakan sweatshirt pink dengan jeans sobek.

Popularitas konten selfie di Instagram bisa dilihat dengan hashtag ootd , yang per April 2017, sudah memiliki 158 juta posting. Jumlah tersebut diakumulasikan dengan variasi hashtag ootd yang lain. Kebanyakan konten foto dari hashtag ini adalah busana- busana yang bisa kita sebut fesyen jalanan, busana yang dikenakan untuk aktivitas sehari-hari dan digunakan oleh masyarakat urban di perkotaan.

Lalu, apakah ini menandakan bahwa munculnya fotografi street fashion jadi alternatif sehingga masyarakat tidak dipaksa mengkonsumsi konten spoon- feed fotografi fashion di media massa mainstream seperti majalah dan TV? Sayangnya tidak.

Berkembangnya fotografi fesyen jalanan ternyata menjadikan merek-merek urban menengah juga mematok harga yang tidak murah. Untuk sebuah jaket bekas merek OFF-WHITE, kamu perlu merogoh kocek sebesar Rp. 700.000,00. Iyap, semua berkat kekuatan fashion photography ini yang meningkatkan value brand tersebut. Sama halnya dengan merek-merek fesyen jalanan luar negri seperti Supreme, Champion, Yeezy, CDG, dan lainnya yang gampang banget masuk pasar Indonesia.

Konsekuensi Fotografi Fashion: Konsumerisme

Peran fashion photography dalam membingkai fashion menjadi suatu hal yang memiliki nilai yang diperhitungkan, sangatlah besar. Baik nilai estetika maupun ekonomi.

Apalagi, fotografi semakin mudah diakses dan dilakukan oleh setiap orang yang menghasilkan tren fotografi fesyen jalanan. Alih- alih menjadi alternatif fashion yang memiliki nilai ekonomi menengah, fotografi fesyen jalanan justru menjadi media untuk memberi nilai ekonomi tinggi terhadap fesyen jalanan tersebut, kasarnya cuma menciptakan pasar fashion baru aja.

Dampak dari hal tersebut adalah meningkatnya konsumerisme terhadap barang-barang fesyen yang dibingkai mahal melalui fotografi fesyen. Ini diperkuat dengan peran sosial media sebagai konduktor penyebar konten- konten fotografi festen tersebut.

Penulis: Rega Aditya Doyosi
Penyunting: Ajie Prasetya

Suka dengan tulisan ini? Dukung kami terus dengan claps-mu!

Daftar Pustaka:
Barnard, M. (2002). Fashion as Communication. London: Psychology Press.
Garner, D. M., Garfinkel, P. E., Schwartz, D., & Thompson, M. (1980). Cultural expectations of thinness in women. Psychological reports, 47(2), 483–491.
Hendariningrum, R. (2008). Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi. Jurnal Ilmu Komunikasi , 25.
Hu, Y., Manikonda, L., & Kambhampati, S. (2014, June). What We Instagram: A First Analysis of Instagram Photo Content and User Types. In Icwsm.
Marien, M. W. (2006). Photography: A Cultural History. London: Laurence King Publishing.
Shinkle, E. (2008). Fashion as Photograph: Viewing and Reviewing Images of Fashion. New York: I. B. Tauris.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Pesan dan Kanal
Pesan dan Kanal

Written by Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!

No responses yet

Write a response