Emily in Paris: Tantangan Jadi Marketing di Negara Asing

Pesan dan Kanal
3 min readApr 30, 2021

--

Photo by Cinemags

Teman Sepekan! Udah pada nonton serial Emily in Paris belum, nih? Kalau belum, kita ada sedikit sinopsis untuk kalian dan alasan kenapa kalian harus nonton Emily in Paris! Cekidot!

Emily in Paris merupakan salah satu serial Netflix yang rilis pada 2 Oktober 2020 lalu. Serial ini menceritakan seorang gadis Amerika yang mendapatkan perintah untuk menggantikan atasannya dalam melakukan akuisisi untuk perusahaan di Paris.

Namun, saat menjalankan kegiatannya sebagai karyawan di Paris, Emily mendapat banyak challenge dari lingkungan barunya. Tapi, Emily membuktikan bahwa dia bisa menangani semua challenge itu, lo! Penasaran nggak sih, apa aja yang harus Emily hadapi sebagai marketer di Paris? Yuk kita bahas di sini!

Languange Barrier

Emily yang berasal dari Amerika harus menghadapi language barrier antara dirinya dengan lingkungan sekitar. Language barrier sendiri merupakan hambatan dalam berkomunikasi yang biasanya disebabkan oleh perbedaan bahasa atau logat antara komunikator dan lawan bicara.

Ditempatkan di Paris, Emily sudah pasti akan mengalami kesulitan berbahasa Perancis. Hal itu membuat Emily dianggap remeh dan merepotkan, bahkan Emily juga mendapat first impression yang kurang baik karena ketidakmampuannya untuk menyesuaikan bahasa. Emily pun dianggap tidak profesional karenanya. Ya jelas, sih, bahasa ‘kan media komunikasi terpenting dalam kehidupan.

Namun hebatnya, Emily tidak mudah menyerah dan cepat mencari solusi, lo! Emily terus semangat untuk mereduksi language barrier yang dia alami dengan mengikuti kelas bahasa Prancis.

Dipaksa Berpikir Kreatif

Tinggal di negara orang, harus lebih pintar agar bisa bertahan. Emily membuktikan dengan kemampuannya melihat peluang dan berpikir secara out of the box dengan melihat keadaan berdasarkan helicopter view. Dengan begitu, dia dapat menciptakan berbagai peluang yang tidak terpikirkan oleh rekan kerjanya yang lain.

Emily juga pintar memanfaatkan privilege-nya sebagai seorang influencer dengan followers yang banyak. Contohnya, Emily mempromosikan sebuah lip product dari brand ternama di acara launching-nya dengan cara yang menarik. Emily merekam dirinya tengah memakan buah dan mempublikasikan video tersebut di instastory. Eksekusi yang Emily lakukan bertujuan untuk membuktikan klaim smudge-proff dari produk lipstik yang dia pakai. Hal ini juga menjadi ajang promosi lip product dengan bukti konkret dari Emily, sehingga menimbulkan keyakinan bagi viewers untuk ikut membeli produk tersebut. Out of the box banget, ‘kan? Bahkan dengan cara tersebut Emily mendapat pujian dari CEO produk tersebut dan dianggap memiliki product knowledge yang bagus.

Tak hanya itu, Emily juga pintar mencari peluang untuk menggaet klien-klien keren, lo! Emily senang mempromosikan secara tersirat mengenai produk yang ditawarkan melalui obrolan ringan. Obrolan ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian tanpa adanya kesan paksaan, guys. Terkesan natural , ‘kan? Tapi tetap berhasil menarik perhatian klien!

Harus Berani untuk Membuktikan Diri

Emily sering dianggap tidak kompeten karena masih membawa perspektif Amerika terhadap pekerjaannya sebagai digital marketing. Sebagai contoh, Emily memasarkan vaksin di laman pemasaran perusahaannya di Amerika dan memonitor laman tersebut sehingga dapat mengetahui jenis device pengguna, kapan diakses oleh pengguna, di mana diaksesnya, hingga berapa lama durasi pengguna menyimak konten yang Emily terbitkan. Ajaibnya, hal ini berhasil meningkatkan turisme Kepulauan Virgin sebesar 30%.

Selain itu, Emily pun berani mengambil langkah untuk promosi produk di media sosial dengan kalimat yang sederhana namun mempunyai keterikatan pada kehidupan sehari-hari, sehingga target customer dapat menerima pesan dengan mudah dan tertarik untuk membeli produk tersebut. Terdengar seperti copywriting yang pernah kita bahas, ya! Persuasif gitu!

Tak hanya itu, Emily juga nekat merevisi ide marketing yang telah dibuat oleh Antoine Lambert, pemilik dari perusahaan tempat dia bekerja. Emily mengusulkan ide berupa kampanye sosial pada pekan budaya sebagai strategi promosi produk parfum. Namun, idenya dianggap lelucon oleh rekan kerja di Savoir, karena dianggap tidak fit in dengan kesan sexy dari produk.

Namun, Emily tetap bersikeras untuk mengunggah iklan di media sosial dengan menyertakan pollingsexy or sexiest?” untuk mendapatkan feedback dari customer. Teknik ini pun diharapkan bisa melanggengkan hubungan antara customer dan Maison Lavaux, agar bisa dimanfaatkan menjadi ajang untuk melakukan promosi.

Surprisingly, Emily selalu mendapatkan feedback yang positif dan dukungan dari para klien. Meskipun awalnya tidak mulus, berkat ketekunan yang Emily punya, dia pun berhasil dalam menunjukkan self worth-nya. Nggak disangka banget, kan?

Itulah tantangan yang Emily terima selama bekerja sebagai marketing di negara asing. Banyak hal yang harus di-push terlebih dahulu agar hasilnya terlihat. Dan yang paling penting, harus yakin dengan diri sendiri. Kalau kita nggak yakin sama diri sendiri, gimana kita bisa meyakinkan orang lain?

Penulis: Aura Syiami Untari
Penyunting: Aisyah Asharini

--

--

Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!