
Buzzer: The New Normal of Propaganda
Kisah tentang persilatan lidah antara buzzer di media sosial nggak bakal ada habisnya, walaupun eksistensinya terus dikecam netizen. Akun-akun “cari ribut” ini akan terus mewarnai kolom komentar dengan keraguan, ketidakpercayaan, sampai kebencian di dunia digital. Bisa dibilang, buzzer adalah propaganda 4.0, yang nggak lagi menggunakan komunikasi satu arah — seperti poster-poster Perang Dunia II, tetapi dengan komunikasi yang interaktif.
Fenomena buzzer politik di media sosial bagaikan “the new normal” dari cara politikus dan institusi pendukungnya menyebarkan pesan-pesan politis kepada netizen, dalam rangka menambah pendukung sampai melindungi citranya.
Berawal Sebagai Metode Marketing dan Social Campaign
Kalau ditelusuri, ternyata buzzer berawal dari sebuah teknik pemasaran di media sosial. Berdasarkan diskusi yang diselenggarakan CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance), teknik ini lahir bersamaan dengan kelahiran Twitter pada 2009 yang berfungsi untuk memasarkan produk agar penjualan meningkat.
Istilah buzzer sendiri berasal dari buzz marketing, sebuah kegiatan pemasaran pada saluran komunikasi untuk menciptakan gangguan kepada kompetitor perusahaan dengan harapan dapat menarik target audience. Caranya, buzzer sebagai pelaku melempar isu dan memviralkannya di media sosial seperti Twitter yang didukung dengan ratusan akun-akun bot atau akun pengguna aktif lainnya untuk saling sahut menyahut.
Di Indonesia, fenomena buzzer juga digunakan dalam gerakan sosial #IndonesianUnite pada 2009. Gerakan berbasis tagar di Twitter itu bertujuan untuk melawan aksi terorisme di Mega Kuningan, Jakarta dan sukses mencapai tujuannya, membangkitkan nasionalisme netizen untuk melawan teror tersebut.
Dijadikan Mesin Perang Politik
Lewat pencapaiannya di dunia bisnis dan kampanye sosial, buzzer mulai dilirik kegunaannya dalam politik. Penggunaan buzzer mulai masuk ke dunia politik Indonesia pada saat pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta 2012. Dengan memanfaatkan perkembangan pesat media sosial seperti Twitter, para politikus menggunakan teknik ini untuk menggenjot popularitas mereka.
Di masa kampanye Pilgub 2012, pasangan calon (paslon) gubernur Jokowi-Ahok mengerahkan ‘Jasmev’ (Jokowi Advanced Social Media Volunteers) bersama aktivis media sosial partai Gerindra sebagai kanal pesan kampanye mereka di media sosial. Jasmev yang awalnya beranggotakan 500 orang ini beroperasi hanya bermodal ruang kerja pinjaman, komputer sewa, serta “pasukan” tak berbayar mampu mewujudkan impian paslon untuk menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta, bahkan sampai jabatan kepresidenan saat ini.
Christiany Juditha (2019) telah menemukan bahwa teknik buzzer dalam menyampaikan pesan politis sangat efektif dengan cara berinteraksi dengan akun pengguna yang mempunyai followers yang banyak, sehingga memperluas jangkauan pesan yang disampaikan buzzer.
Buzzer juga menggunakan strategi lainnya seperti penggunaan akun bot secara masif yang memanfaatkan otomasi mesin dan algoritma media sosial sampai pesannya mencapai trending topic.
Teknik tersebut terus digunakan ke kontestasi politik yang lebih besar seperti Pemilu 2014 dan 2019, serta Pilgub Jakarta 2017 karena pencapaiannya, yang efeknya masih terasa sampai 2020 ini.
Akibatnya, peran buzzer menjadi kunci penting dalam memenangkan kontestasi politik di Indonesia bahkan sampai menjaga kekuasaan rezim pemenangnya, yang membuka ladang emas bagi para pengusaha oportunistik.
Menjelma Menjadi “Agensi Rahasia Umum”
CIPG juga menemukan bahwa para buzzer yang tersebar di jagat media sosial ini tergabung dalam sebuah biro dan agensi bidang komunikasi. Agensi ini berperan penting untuk tercapainya sebuah permintaan dan penawaran komoditas “buzzing”. Para konsumen komoditas ini terdiri dari korporat-perusahaan, partai, sampai tokoh.
Saking sudah settle-nya bisnis buzzing, lapangan kerja yang dikecam ini mampu membiayai kehidupan orang-orang yang ada didalamnya. Keberadaan bisnis “buzzing” sudah jadi rahasia umum masyarakat dan keliarannya dilepas negara.
Dalam pengerjaannya, buzzer bisa bekerja dalam tim dan individual. Buzzer individual sudah mempunyai jumlah followers yang masif dan mampu meng-amplify pesan secara efektif, sedangkan bentuk tim, terdapat koordinator yang mengatur para buzzer.
Untuk masalah gaji dan upah, buzzer bisa mendapatkan setara dengan UMR (Upah Minimum Regional). Di wilayah DKI Jakarta sendiri, buzzer bisa mendapatkan 3,9 juta per bulannya dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam per hari. Tentunya pendapatan ini tergantung pada “chain of command’” yang ada pada agensi atau koordinasi buzzer.
Terlepas dari dampak negatifnya yang masif ditemui dan dirasakan di dunia media sosial saat ini, pihak keamanan Indonesia tidak mengambil tindakan yang besar. Operasi buzzer masih diperbolehkan asal menyebarkan pesan yang “konstruktif” dan “positif” dan tidak melanggar hukum.
New Normal Propaganda
Seperti Covid-19, kita dipaksa untuk hidup berdampingan dengan hate speech, manipulasi, dan pertikaian komentar di media sosial.
Realita yang ada mencerminkan betapa sudah lazimnya kegiatan buzzer di media sosial. Para khalayak rentan dibiarkan terpapar amplifikasi pesan manipulatif buzzer, dan berpotensi menyebarkannya lebih luas lagi ke orang-orang terdekatnya. Akibatnya pun, berujung pada kehidupan sehari-hari kita dan tebalnya dompet “agensi rahasia umum” ini.
Penulis: Muhammad Alberian Reformansyah
Daftar Pustaka:
Juditha, C., Buzzer di Media Sosial Pada Pilkada dan Pemilu Indonesia Buzzer in Social Media in Local Elections and Indonesian Elections. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi dan Informatika #3 Tahun 2019: 199–212