Photo by media.21cineplex.com

Bagaimana Grup 21 Mendominasi Pasar Bioskop Indonesia?

Pesan dan Kanal
5 min readApr 28, 2020

Nggak ada yang bakal nyangka penemuan pada tahun 1800-an yang sekarang kita kenal sebagai motion picture ini, akan menciptakan industri baru di masa depan yang berpengaruh ke kehidupan masyarakat. Yak, tidak lain lagi, industri itu adalah industri perfilman, yang terdiri dari produksi sampai ditayangkan di bioskop.

Seperti yang kita tau juga, industri film terus berkembang, dari era silent movie (silent period), sampai sekarang dimana perfilman sudah menggunakan efek kompleks macam CGI yang sering kita temui di hampir semua film.

Tetapi, ada juga hal yang nggak-atau belum-berubah dari zaman dulu di bidang perfilman, yaitu penggunaan bioskop untuk menayangkan film yang telah diproduksi kepada masyarakat. Bahkan sekarang, bioskop masih jadi tempat sasaran untuk semua orang kalau ingin menikmati film terkini. Bagian dari rantai industri perfilman ini seakan tampak tak berkarat, walaupun internet terus mengancam.

Seiring perkembangan zaman, bioskop juga mengalami perubahan signifikan dengan terbentuknya bioskop yang memiliki banyak layar atau sistem multipleks, dimana bioskop tersebut dapat memutar beberapa film dalam waktu yang sama. Bioskop multipleks ini biasanya terletak di mall dan pusat perbelanjaan, dan bakal terus bertambah jika mall atau pusat perbelanjaan juga bertambah. Simple-nya, jika mall besar akan dibangun di suatu daerah, niscaya bioskop ada dalam salah satu fasilitasnya.

Lalu, bagaimana awal mula bioskop muncul di Indonesia?

Grup 21 dan Sudwikatmono dkk: Taipan-nya Bioskop

Kalau kamu memang tipe orang yang nonton film ke bioskop, pasti kamu tahu bioskop apa yang paling banyak dan sering ditemui di mall atau pusat perbelanjaan terdekat. Yup, jawabannya Cinema XXI dan Cinema 21, yang mana mereka adalah jaringan bioskop dari Grup 21.

Grup 21, atau Cineplex 21 Group ini didirikan oleh Sudwikatmono dengan bekerjasama dengan Benny Suherman dan Harris Lesmana. Bisnis ini dimulai sejak tahun 1987 dan membangun bioskop pertama kali di Jalan MH Thamrin Kavling 21, Jakarta. Beberapa sumber menyatakan bahwa pembangunan studio pertama di Kavling 21 itulah yang menjadikan namanya Cinema 21, tetapi ada sumber juga yang mengatakan angka 21 di nama perusahaan tersebut adalah akronim dari nama Sudwikatmono sendiri.

Namun, pada tahun 1999 Sudwikatmono melepaskan Grup 21 kepada dua partnernya dan terus hidup hingga saat ini, bahkan mendominasi pasar bioskop Indonesia.

Kata Dyna Herlina (2016), industri bioskop Indonesia masih didominasi oleh Grup 21 dengan kepemilikan layar terbanyak. Di bawah PT Nusantara Sejahtera Raya, Grup 21 mendominasi pasar bioskop dengan merek dagang bioskop Cinema 21, Cinema XXI, The Premiere, dan yang paling baru, IMAX. Perusahaan yang mengontrol dua jaringan bioskop besar: Studio 21 and Empire XXI memiliki total 119 bioskop yang masing-masing mempunyai 4–6 layar atau studio dan tersebar di 31 kota Indonesia pada tahun 2016.

Walaupun Grup 21 masih mempunyai pesaing seperti Blitzmegaplex atau CGV Blitz (PT Gapura Layar Prima) dan Cinemaxx (Lippo Group), kedua pesaing ini masih kalah jauh dari Grup 21. Kalau dilihat dari jumlah bioskop, pada 2018 CGV Blitz hanya mempunyai 54 bioskop dan Cinemaxx 48 buah, sedangkan Grup 21 mempunyai 186 bioskop.

Kok bisa ya? Apakah karena Grup 21 didirikan oleh pengusaha besar zaman Orba? Hmm.. Bisa jadi, tapi ada faktor lain.

Investasi Asing: Jalan Mulus Bioskop Berkembang Biak, Jalan Terjal untuk Film Lokal.

Pada tahun 2016, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden №14 tahun 2016, dimana Indonesia membuka sepenuhnya investasi sektor perfilman untuk asing. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mendorong investasi tersebut digunakan untuk menambah jumlah layar bioskop dengan harapan meningkatkan produksi film.

Menurut Kepala BKPM kala itu, Franky Sibarani, pihaknya sudah mendapatkan minat investasi di bidang perfilman dari Uni Emirat Arab, Taiwan, Korea Selatan, dan Amerika Serikat kala itu.

Dari sini pula perusahaan bioskop macam Grup 21 bakal kecipratan modal dari investasi asing ini, yang tentunya mempermudah mereka membangun bioskop di nusantara, apalagi udah didukung pemerintah.

Masalahnya bakal ada dampak negatif dari investasi asing ini, semenjak dihapusnya Daftar Negatif Investasi (DNI) yang mana sektor perfilman termasuk didalamnya.

Revisi DNI dalam upaya meningkatkan penanaman modal di Indonesia dan persiapan menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) dalam bidang usaha film tidakan membahas tentang akses permodalan dan penambahan layar saja, tetapi juga peningkatan standar dan kapasitas kompetisi pekerja film kreatif tanah air melalui kerjasama dengan pemodal atau sineas mancanegara dengan ini memungkinkan lebih banyak film lokal yang tidak mendapat modal untuk mensejajarkan diri dengan film luar negeri.

Selain itu, dibukanya investasi asing juga bakal berdampak banget terhadap sisi kebudayaan. Menurut Sasono (2011), dibukanya investasi asing (dalam sektor perfilman) akan mempengaruhi kebudayaan. Bioskop dan distributor film asing akan memasukkan film dan budaya mereka ke dalam negeri. Masuknya ideologi asing melalui film mereka juga berpengaruh besar pada ideologi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kekuatan Hollywood yang kita rasakan di bioskop Indonesia.

Dampaknya lagi, hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa mengakses layar bioskop.

Bioskop Tak Merata, Dominasi Grup 21, dan Investasi Asing Berdampak Buruk

Di tahun 2015, bioskop masih terpusat berada di pulau Jawa. 3 tahun kemudian, 87 persen bioskop masih terpusat di pulau Jawa dan didominasi oleh Grup 21. Ketersediaan bioskop yang tak merata dan terbatasnya jumlah layar bagi film Indonesia membuat para sineas harus berjuang keras dalam bersaing dengan film Holywood maupun film asing lainnya.

Maraknya film-film impor juga membuat kondisi perfilman lokal tertekan. Film-film lokal pun kesulitan untuk bersaing dengan kuatnya film impor yang lebih menarik minat penonton. Kondisi itu membuat industri perfilman lokal terjepit. Akses pasar yang dikuasai asing membuat jatah penyangan film Indonesia berkurang setelah terbukanya kerjasama dengan dengan investor asing seperti CJ CGV yang berasal dari perusahaan asal Korea Selatan di Blitz Megaplex.

Ditambah lagi, dominasi bioskop Indonesia oleh Grup 21 menyebabkan hanya kalangan tertentu saja yang dapat menikmati bioskop, karena rata-rata bioskop ini hanya membuka layar di kota-kota besar Indonesia terutama di pulau Jawa. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat perusahaan bioskop yang menguasai pasar antaralain Cineplex 21 (Grup 21) mengoperasikan 1.003 layar, CJ CGV Cinemas 275 layar, dan Cinemaxx 203 layar. Sedangkan bisnis independen hanya 46 layar.

Akhirnya, jumlah penonton film Indonesia dengan jumlah layar bioskop yang tidak seimbang membuat pemerintah harus membuka investasi asing.

Namun, dibukanya investasi asing juga berdampak pada perfilman lokal yang tergeser film impor. Meskipun berdampak positif pada penambahan layar bioskop Indonesia, film lokal akan semakin sulit bersaing dengan film asing di kandang sendiri.

Penulis: Anasvita Athaya
Penyunting: Muhammad Alberian Reformansyah

Daftar Pustaka:

Herlina S, Dyna. (2016). Segmentasi dan Pengambilan Keputusan Penonton Film Bioskop Pemetaan Tiga Kota: Jakarta, Bandung, Surabaya. Yogyakarta: Badan Ekonomi Kreatif. P. 10

Sasono, Eric dkk (2011). Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film dan TIFA

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Pesan dan Kanal
Pesan dan Kanal

Written by Pesan dan Kanal

Tempat nongkrong anak Komunikasi! Follow Akun Instagram kami juga @pesandankanal!

No responses yet