Apa yang Salah Dengan Sinetron Indonesia?
Kapan terakhir kali kamu menonton sinetron? Wah pertanyaan sulit! Jangankan sinetron, siapa juga yang masih nonton TV. Sekarang kan era “Youtube lebih dari TV”. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Anak zaman 90-an tidak asing dengan sinetron. Pada masanya, hampir semua stasiun televisi memiliki sinetron andalan. Mungkin saja kamu salah satu penonton setia sinetron.
Tidak dapat dipungkiri, sinetron masih jadi jualan laris manis di pertelevisian Indonesia. Menurut Komisioner KPI Nuning Rodiyah, 60% penduduk Indonesia masih suka menonton sinetron . Ikatan Cinta yang tayang di RCTI sejak Oktober 2020 bahkan digadang kalahkan rekor rating Cinta Fitri selama 5 tahun belakangan. Iya, sinetron legendaris 7 musim itu kalah dari sinetron kemarin sore yang baru rilis 90 episode per 23 Desember 2020. Luar biasa sekali, ya Bun.
Tapi emang siapa sih orang yang masih menonton sinetron?
Dilihat dari Status Ekonomi Sosial (SES), mayoritas penonton sinetron ada di SES B dan C alias golongan menengah ke bawah. Sinetron TV lokal belum lepas dari penonton kategori ini. Mereka tidak punya sarana hiburan selain sinetron yang mudah diakses. Keadaannya berbeda dengan SES A yang mudah berlangganan TV kabel atau streaming online. Standar sinetron pun disesuaikan kelas penontonnya.
Sinetron memang laris tapi nggak superior. Perkembangan zaman menggeser sinetron Indonesia dari hati para pecintanya. Ini karena masuknya sinetron luar seperti drama Korea dan Turki. Masyarakat lambat laun lebih berminat menonton sinetron luar itu daripada sinetron lokal, yang bikin para aktor dan aktris sinetron khawatir kehilangan job-nya. Selain itu, media streaming seperti Netflix dan Viu membuat sarana hiburan kita berganti. Alur cerita mudah ditebak, akting berlebihan, dan hal tidak logis makin membuat anak muda enggan menonton sinetron.
Sebenarnya apa yang ada di balik sinetron sehingga dipandang setengah mata? Yuk, kita bedah isi sinetron Indonesia.
Tema dan Alur Sinetron Yang Sama Bikin Penonton Bosan
Kalau kita perhatikan, ada beragam tema sinetron. Kebanyakan orang menyukai tema sederhana, seperti kehidupan sehari-hari yang mengarah pada persahabatan, cinta monyet anak-anak, kehidupan sekolah yang “wow”, dan lika-liku kehidupan keluarga.
Ide sinetron mungkin berasal dari adaptasi. Klean pasti tahu dong drakor 18 Again yang viral pertengahan September sampai November. Sebenarnya drama ini remake film barat berjudul sama dan alurnya pun sama dengan versi filmnya. Namun, 18 Again versi drakor menambahkan scene yang beda di beberapa bagiannya, yang membuat penonton tetap tertarik walau udah pernah nonton film aslinya.
Kehidupan sehari-hari kerap jadi tema umum sinetron Indonesia, padahal genre fantasi (science-fiction, superhero, dll.) berpotensi besar dibawa ke layar kaca, lho. Lihat aja film superhero yang selalu punya penggemar di bioskop. Contohnya, X-Men yang mengisahkan sekumpulan manusia berevolusi menjadi mutan. Film ini sukses membuat penonton terkesima dengan hal yang terlihat mustahil tapi sebenarnya masih masuk akal.
Mungkin ada cerita fantasi digarap salah satu sinetron di Indonesia karena terinspirasi film-film luar, Ganteng-Ganteng Serigala (GGS) misalnya, yang terinspirasi sama Twilight. Sinetron ini memang bisa dibilang dicintai masyarakat, tapi coba deh kamu tonton, pasti geleng-geleng kepala. Bukan kualitasnya yang jelek, tapi kamu pasti bingung, kok alurnya gitu sih? Ngikutin tren itu bagus, tapi jangan maksa juga, dong!
Kalian juga pasti hafal dong alur yang wajib ada dalam sinetron Indonesia. Sebut saja adegan ketabrak motor yang bisa bikin tokohnya lupa ingatan bahkan meninggal. Ada juga adegan menukar atau menculik anak di rumah sakit, adegan romance orang kaya yang berakhir menyukai orang miskin, dan masih banyak scene lain yang bisa kamu sebutin saking hafalnya. Jalan cerita yang itu-itu aja bikin sinetron mudah ditebak dan tentunya nggak seru.
Korbankan Cerita Demi Keuntungan
Sebelum memulai produk audio visual, menyusun premis dalam sinetron adalah hal utama. Di bangku SD, kita belajar kerangka cerita sebelum menulis cerpen. Premis dan kerangka menunjukkan jalan cerita. Kerangka terdiri dari 5W+1H. Premis bisa lebih sederhana hanya siapa, apa, dan bagaimana. Sebagai contoh, Tukang Bubur Naik Haji berpremis “tukang bubur yang berekonomi menengah ke bawah sanggup berhaji”. Premis membantu kejelasan jalan cerita, mulai dari mana dan berakhir sampai mana. Sayangnya, sinetron kita punya kasus spesial. Premis mungkin ada, tapi apa benar diikuti?
Berbeda dengan serial Korea, Jepang, atau Hollywood yang syuting jauh-jauh hari sebelum tayang, Indonesia terkenal akan sinetron stripping. Satu episode tayang, satu episode otw syuting. Bayangkan itu terjadi selama 1000 episode, pasti capek. Belum lagi durasi panjang sinetron Indonesia. Contohnya, Tukang Bubur Naik Haji yang tayang 2012–2017 selama 2.185 episode . Wah, kalau kamu menonton sinetron itu pas SMP, pasti baru kelar saat duduk di bangku SMA. Bandingkan aja dengan sinetron luar negeri yang berkisar antara 16–628 episode. Jauh banget, kan. Nah, sistem ini salah satu yang bikin premis nggak berjalan.
Kenapa sih sinetron Indonesia harus begitu?
Jadi, selain tontonan masyarakat, sinetron juga jadi bisnis rumah produksi. Selama ada permintaan dan rating meningkat, judul itu jalan terus. Sehari tayang 3 episode selama 3 jam pun bukan masalah. Padahal siapa orang yang betah nonton sinetron 3 jam? Otak manusia saja maksimal menyerap informasi selama 20 menit.
Sistem kejar tayang juga membuat kru produksi sulit mengambil gambar sesuai premis. Nggak mungkin menyesuaikan premis, karena nanti sinetron cepat kelar padahal ratingnya masih bagus. Jawabannya, ya tinggal perpanjang saja ceritanya. Tambahkan aktor baru yang dibayar murah atau beri konflik berbeda tiap episode. Premis sederhana TBNH jadi panjang berkat konflik yang tidak berhubungan dengan si tukang bubur. Bahkan di pertengahan musim, si tukang bubur meninggal dan tidak muncul lagi. Judul tukang bubur, tapi tukang buburnya tidak ada? Hohoho semua mungkin di sinetron Indonesia. Tinggal penulis skrip memutar otak mencari cerita baru yang membuat sinetron terus berlanjut.
Rating naik sinetron jalan terus juga berarti satu judul bisa tiba-tiba menghilang. Episode awal cuma umpan. Kalau penonton tertarik, judul itu lanjut. Kalau rating buruk, sinetron tamat. Demi keuntungan pasti yang terus mengalir, rumah produksi lebih memilih cara itu ketimbang mengeluarkan judul baru.
Narasi Cerita Usang Yang Terus Diulang
Setelah premis, penulis menyusun naskah sesuai narasi. Sinetron layar kaca Indonesia mayoritas menggunakan narasi “binary opposites” ala Levi Strauss. Teknik ini menarasikan sinetron lewat perbandingan dua jenis tokoh; baik vs buruk, cantik vs jelek, atau baik vs jahat. Tokoh baik selalu bersikap baik, sedangkan lawannya terus menyakiti si tokoh utama. Banyak sinetron, jika tidak mau dibilang semua, memakai narasi tipe ini. Reva dan Boy vs Adriana di Anak Jalanan serta Hana vs “Hello Kitty” di Catatan Hati Seorang Istri barulah sebagian kecil contohnya.
Pemilihan narasi tadi membuat tidak ada variasi dan kedalaman cerita. Ini beda dengan narasi Tzvetan Todorov dalam Sherlock Holmes. Todorov menggunakan narasi urutan waktu, ketika kondisi normal terganggu masalah dan para tokoh berusaha mengatasinya agar kembali ke keadaan semula.
Narasi jenis kedua memungkinkan alur jelas dan maju. Progres cerita setiap episode harus ada untuk mencapai solusi masalah. Ini sangat berbeda dengan narasi sinetron yang tidak jelas awal-akhirnya dan hanya menabrakkan konflik dua tokoh beda sifat.
Serba Zoom In Dan Backsound Alay
Proses syuting adalah masalah lain yang bikin gedek. Adegan konflik sedikit, kamera langsung zoom in wajah aktor. Backsound intens menambah suasana serba menegangkan. Lho ini kan sinetron drama bukan aksi?
Sutradara sinetron sering memilih teknik gambar dan suara berlebihan. Gambar jernih, tapi dikit-dikit zoom in ya sia-sia dong syuting dengan kamera canggih. Musik latar pun tidak berbeda. Soundtrack sinetron bolehlah dinyanyikan penyanyi ternama, tapi musik latar alay juga bisa merusak cerita. Kualitas tidak sepadan usaha syuting stripping tiap hari.
Seiring waktu, minat terhadap dunia perfilman meningkat. Kamera, sound, hingga tata cahaya makin canggih. Film buatan sineas kita malang-melintang di festival internasional. Bukankah itu menunjukkan kita mampu membuat karya berkualitas? Tapi kenapa sinetron serba zoom in dan backsound buruk tumbuh subur?
Harus Berubah atau Mati Diinjak Drakor
Sinetron harus memperbaiki kualitas jika tidak mau tergusur serial luar negeri. Drakor di TV lokal cukup jadi bukti sinetron kehilangan taji. Ketimbang syuting 1000 episode, rumah produksi mending membuat variasi cerita. Sisi edukasi wajib pula diperhatikan. Sinetron memang dibuat sesuai selera penonton. Namun, bukan berarti tidak mengedukasi. Daripada membuat sinetron berstandar rendah, bukankah lebih baik menaikkan standar tontonan masyarakat?
Kualitas akting juga wajib diperhatikan. Kalau kita ingat, dulu jadi aktor itu perlu usaha. Casting kanan-kiri, harus kenal senior, dan pemeran utama pasti dipegang aktor berbakat. Ini masih berlaku di Korea Selatan dan Jepang. Artis baru berlatih bertahun-tahun sebelum dapat job di layar kaca. Sangat berbeda dengan Indonesia di mana orang yang viral mudah masuk TV walau tanpa kemampuan.
Terakhir tugas KPI mengawasi penayangan sinetron. Kalau melanggar aturan dan tidak mengedukasi, ya ditindak tegas. Jangan sampai sinetron Indonesia mati kehilangan penonton akibat kualitas yang buruk.
Penulis: Erwina Rachmi & Patricia Ruth
Penyunting: Muhammad Alberian Reformansyah